Rabu, 22 April 2015
Selasa, 21 April 2015
Mencari Teknologi Ramah Lingkungan
(SERI 1)
Salah
satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember
2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer
teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi
mencegah pemanasan global. Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan
itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya
telah dilindungi dengan hak paten. Karena itu, urusan transfer teknologi
adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya
kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu
urusan bisnis?
Teknologi
ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah
segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya
dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran
ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan
adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun
sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai
mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan
dengan harga yang wajar. Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup
atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang? Sebuah
mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara
ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih
murah. Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh
mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara
umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya
lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu
juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun
radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh
teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:
Pangan
Pola
konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati
yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat
nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu
dikonsumsi dagingnya.
Dapur
modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya
lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas
CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah
pangan juga terkait erat dengan sampah. Makanan kemasan memang praktis,
tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing. Namun banyak kemasan yang
sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat
ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah,
baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan
ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini
dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang.
Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang
lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi
termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan
kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak
dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik
membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka
panjang tidak ramah lingkungan. BERSAMBUNG......
(Dr. Fahmi Amhar, Peneliti
Utama Bakosurtanal)
Langganan:
Postingan (Atom)