Selasa, 21 April 2015

Mencari Teknologi Ramah Lingkungan



(SERI 1)



Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global.  Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten.  Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?
Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah.  Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi.  Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal.  Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar.  Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang?  Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah.  Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:





Pangan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian.  Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan.  Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC.  CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir. 
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah.  Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing.  Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan.  Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar.  Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang.  Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat.  Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.  BERSAMBUNG......
(Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Bakosurtanal)